Suatu hari, Gus Dur melakukan perjalanan malam dari Demak ke Lirboyo, Kediri. Sastro al-Ngatawi mendampinginya.
Sampai di Sragen, bus yang keduanya tumpangi tidak mau melanjutkan perjalanan karena penumpangnya hanya mereka berdua.
“Tro, bagaimana ini? tanya Gus Dur.
“Ya, kita turun, Gus,” jawab Sastro.
Dengan berat hati, keduanya turun lalu berdiri di pinggir jalan. Setelah lebih dari 30 menit mereka menunggu, sebuah kendaraan lewat. Akhirnya, ada mobil Kijang tua yang menghampiri.
“Teng pundi, Pak?” tanya sang sopir. Sastro menjawab,
“Kediri, Pak. Lirboyo.”
Setelah tawar menawar, akhirnya Gus Dur dan Sastro naik omprengan, melanjutkan perjalanan menuju Lirboyo. Ditambah keduanya, mobil itu berisi tujuh orang, lelaki semua.
Sampai di Nganjuk, mobil berhenti. Sopir dan empat orang temannya turun semua, meminta izin untuk kencing. Lima orang laki-laki turun semua dan mereka serempak berjajar menghadap sawah, kencing.
“Tro, itu lihat. Ada pentas seni,” kata Gus Dur.
“Hahaha. Gus, Gus, Sampean ini ada-ada saja. Kencing bareng kok dibilang pentas seni,” timpal Sastro sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Cerita tersebut dikutip dari buku Ulama Bercanda, Santri Tertawa. Penulis Hamzah Sahal.