Oleh : H. Choirul Anam, S.Ag
(Ka. Promin Keagamaan)

Di tengah arus globalisasi pendidikan yang semakin kompleks dan persaingan antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan yang lain, terlebih terhitung sejak dimulainya abad milenium dengan banyaknya perubahan sistem pendidikan dan pola pikir masyarakat terhadap pendidikan modern, maka sebagai pelaku pendidikan yang hidup di akhir zaman dan menangi hiruk pikuk perubahaan sistem pendidikan modern, maka sedikit banyak manusia modern harus jeli dan teliti terhadap perkembangan pendidikan.

Berdasar pada pemataan pola pikir Imam Abu Hamid Al-Ghozali yang memberikan stetmen di dalam karyanya Ihya’ Ulumiddin, beliau memberikan narasi singkat dan respon terhadap ilmu pengetahuan, yang kemudian dikategorikan oleh Imam Ghozali menjadi dua bagian. Pertama, ilmu umum (eksak). Kata eksak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang bersifat konkret atau nyata yang bisa diketahui serta diselidiki dengan berdasar pada percobaan, sehingga dapat dibuktikan kebenarannya dengan pasti. Sebut saja seperti ilmu biologi, matematika, fisika, kimia, filologi, dan lain sebagainya. Kedua, ilmu agama. Ilmu agama adalah disiplin ilmu pengetahuan yang didasarkan bukan pada penalaran rasio akal, melainkan pada nurani dan keimanan seseorang. Ibarat bangunan, ilmu agama dihadirkan sebagai atap yang dapat melindungi isi bangunan dari terik penyimpangan-penyimpangan yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, dan itu hanya dapat dilakukan dengan hanya meyakininya saja. Dengan kata lain, ilmu agama menjadi pintu utama menuju dan mendekat dengan Tuhan.

Baca juga :  PPDB 2023 MA NU 01 Banyuputih Resmi Dibuka, Intip Program Unggulannya

Lembaga pendidikan modern, saat ini banyak yang hanya memberikan servis pendidikan formal saja, tanpa memperhatikan tujuan utama dari pendidikan tersebut. Padahal jelas jika kita melihat firman Allah di dalam Q.S Al-Fatihah : 2, kata Rabbi al-‘Alamin dapat diartikan sebagai pendidik alam semesta, dengan kata lain, bahwa Allah sangat bertanggung jawab atas segala aspek makhluk hidupnya, tanpa terkecuali. Kata Rabbun sendiri kemudian dikembangkan menjadi kata kerja Rabba – Yurabbi – Tarbiyyatan, yang dalam dunia akademik Universitas atau Perguruan Tinggi kata kerja abstrak dari kata Rabba yaitu Tarbiyyahtersebut kemudian dijadikan sebagai nama sebuah fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyyah atau Fakultas Pendidikan. Mengingat hal pendidikan adalah sesuatu yang sangat fundamental dan mendasar bagi sistem tata sosial, baik keluarga, masyarakat maupun negara. Terlebih sekarang ini hampir kebanyakan orang melihat orang lain yang paling utama adalah dari latar belakang pendidikannya.

Program Keagamaan diadakan dan diwujudkan keberadaannya, salah satu tujuannya adalah dalam rangka menjembatani dan menyeimbangkan antara pemahaman tentang ilmu-ilmu eksak dan ilmu-ilmu agama. Meskipun pada hakikatnya, semua ilmu bersumber dari Al-Qur’an. Namun secara peradaban dan perubahan pola pikir manusia terhadap pendidikan dari zaman ke zaman tidak bisa dilepaskan dari masing-masing persepsi seseorang terhadap pendidikan tersebut. Maka alternatif yang paling utama adalah Lembaga Pendidikan Madrasah, khususnya adalah Program Peminatan Kegamaan.

Baca juga :  Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Ke-Islaman

Penulis masih ingat betul, pada tahun 2007 di sebuah rutinan ngaji bandungandi sebuah pesantren di Jepara, Pak Kiai sering mengatakan. Pertama, mempelajari ilmu umum tanpa didasari dengan ilmu agama ia menjadi pengetahuan yang buta, karena pengetahuan umum hanya sebatas penelitian dan metode menemukan obyek ilmu yang didasarkan hanya dengan rasionalitas akal manusia tanpa menemukan hal-hal lain yang lebih inti di balik itu semua, sedangkan kita semua tahu bahwa pengetahuan akal bersifat subyektif (dzanniy). Dan kalau hanya mempelajari ilmu agama saja tanpa pengetahuan umum, maka ibarat orang berjalan ia menjadi pincang. Karena di dalam Islam keduanya saling berkesinambungan, melengkapi antara satu dengan yang lainyya, manusia generasi Abasyiyyah telah mencotohkan itu dengan bukti pertukaran pelajar Barat dengan pelajar Timur. Kedua, bekal-bekal di masa yang akan datang tidak cukup jika seseorang yang sudah lulus secara akademis hanya mengetahuhi persoalan matematika atau bilogi saja, namun dengan didasari bekal ilmu-ilmu agama diharapkan seorang siswa, mahasiwa atau pelaku pendidikan tidak lantas menyalahgunakan dan curang terhadap hasil perkalian matematika atau temuan teori biologi, bahwa baik matematika atau biologi miasalnya, puncak dari keduanya adalah mengakui Allah SWT sebagai Yang Maha Menghitung dan Maha Menciptakan. (mabyp/era)

Share this.
Scroll to Top
Scroll to Top