Oleh : Muhammad Satrio Dwi Putranto, S.Pd.
(Wali Kelas 10 Agama)

Proses perkembangan anak sangatlah beragam. Hal tersebut dapat dipengaruhi dari berbagai hal yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Baik buruknya sikap dan karakter anak tergantung pada apa yang mereka peroleh dari apa yang mereka lihat atau dengar di lingkungan tersebut. Seperti contoh dalam lingkungan sekitar kita banyak sekali perilaku atau fenomena baik dan buruk yang terjadi pada kita selaku orang yang pernah menjadi anak-anak, maupun mereka yang sekarang dalam posisi menjadi anak.

Maka dari itu tidak heran apabila terjadi kenakalan-kenakalan anak di berbagai usia, khususnya usia remaja. Karena disini kita akan lebih fokus pada pembahasan anak usia remaja. Apa itu kenakalan remaja? Apa saja sebabnya? Siapa yang salah? Pertanyaan ini yang harusnya kita pikirkan terlebih dahulu sebelum mengatakan bahwa anak atau remaja itu nakal.

Bagaimanakah sikap guru terkait hal tersebut? Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut sedikit bercerita tentang pengalaman saya saat bergabung sebagai guru di MA NU 01 Banyuputih. Saat itu di tengah-tengah obrolan para guru membahas rapat wali murid pada semester lalu. Ketika itu ada salah seorang guru bernama bapak Shofyan yang menceritakan sebuah pengalaman saat rapat berlangsung. Beliau menanyakan kepada seluruh wali murid yang hadir pada forum rapat “Pernahkah panjenengan menanyakan kepada anak-anak panjenengan terkait dengan pelajaran atau pun hal-hal terkait dengan sekolah?” dari banyaknya wali murid yang hadir tidak satu pun dari mereka yang menjawab pernah, melainkan mereka hanya diam saja seolah merasa bahwa mereka memang benar-benar tidak pernah memerhatikan anak-anak mereka terkait pembelajaran yang anak-anak mereka alami. Dari situ kemudian beliau menyimpulkan bahwa saat ini jarang sekali wali murid yang peduli dengan proses pembelajaran anak-anak mereka saat di sekolah. Mereka menganggap bahwa semuanya adalah beban dan tanggungjawab guru semata. Apakah yang demikian ini bisa dibenarkan?  

Cerita di atas dapat kita jadikan sebagai bahan untuk evaluasi dalam rangka memberikan perubahan demi tercapainya tujuan dari pembelajaran anak di sekolah. Maka dari itu kita selalu mengajak kepada orang tua atau wali murid untuk ikut berpartisipasi dalam mengawal dan mengawasi pembelajaran anak di sekolah. Karena suksesnya pembelajaran anak bukan hanya tergantung pada guru dan anak saja, melainkan orang tua juga berperan penting dalam mencapai tujuan tersebut.

Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah, banyak dari mereka beranggapan bahwa mereka akan menjadi orang tua saat mereka mempunyai anak. Ada sebagian orang menganggap bahwa jadi orang tua dengan maksud ayah/ibu adalah sebuah naluri yang dimiliki oleh setiap manusia ketika ia mempunyai anak. Ini adalah deskripsi yang sangat simpel mengenai makna orang tua (ayah/ibu). Tetapi apakah hanya makna itu saja yang diharapkan dari “ayah/ibu”?

Baca juga :  Kabupaten Batang Pada Masa Sistem Tanam Paksa (1830-1870)

Menurut KBBI ayah adalah orang tua kandung laki-laki dan ibu adalah wanita yang telah melahirkan anak. Makna tersebut merupakan makna yang tersurat dari kata ayah dan ibu (orang tua). Akan tetapi banyak sekali makna yang tersirat dari kata ayah atau ibu (orang tua), diantaranya adalah mereka yang mendidik, mengayomi, melindungi, pemberi kasih sayang dan masih banyak lagi makna yang lainnya. Dari salah satu makna tersirat tersebut bahwa orang tua adalah mereka yang mendidik anak-anaknya. Dalam sebuah teori pendidikan juga disebutkan bahwa “Orang tua atau (ibu dan ayah) memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya adalah pendidikan yang didasarkan pada rasa kasih sayang terhadap anak-anak, dan yang diterimanya dari kodrat. Orang tua adalah pendidik sejati, pendidik karena kodratnya. Oleh karena itu, kasih sayang orang tua terhadap anak-anak hendaklah kasih sayang yang sejati pula”. Maka dari itu kita sebagai orang tua harus mengetahui makna dari kata orang tua itu sendiri.

Setelah kita memahami makna orang tua atau ayah dan ibu, selanjutnya kita memahami makna dari kata anak itu sendiri. Menurut KBBI anak adalah keturunan, manusia kecil, orang yang dilahirkan dari seorang ibu. Seperti halnya makna kata ayah dan ibu di atas makna kata anak disini adalah makna secara tersurat yang ada di KBBI, sedangkan masih banyak makna anak yang lain yang perlu kita pahami sebagai orang tua.

Anak adalah sebuah amanah oleh Allah SWT. yang dititipkan kepada seseorang untuk dijaga dengan baik serta dididik sehingga menjadi hamba yang kelak selalu bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai orang tua hendaknya selalu memberikan yang terbaik kepada anaknya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam berbagai ayat dalam Al-Qur’an juga sudah banyak dijelaskan bagaimana cara mendidik anak sesuai dengan syariat Allah. Seperti satu contoh kisah yang termaktub dalam Al-Qur’an tentang kebijaksaan nabi Ibrahim AS, dengan anaknya yaitu nabi Ismail AS.

Dalam kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail tentunya tidak asing lagi bagi kita, banyak diantara kita sudah mengetahui kisah tersebut. Yaitu kisah seorang ayah yang diperintahkan oleh Allah SWT. untuk menyembelih anaknya dan kemudian diganti oleh Allah dengan seekor domba yang kemudian diperingati dengan hari raya Idul Adha atau sering juga disebut dengan hari raya qurban. Tapi bukan hanya hari raya Idul Adha saja yang perlu kita selalu ingat, ada hal lain atau pelajaran lain yang tidak kalah penting dari kisah tersebut yaitu kebijaksanaan dari seorang ayah. Kira-kira kebijaksanaan seperti apa yang dilakukan oleh nabi Ibrahim kepada nabi Ismail sehingga momen atau kejadian tersebut ditulis dalam Al-Qur’an dan dijadikan pelajaran bagi kita semua? Adakah dari kita yang sadar akan hal ini? Atau hanya menjadikannya sebagai cerita yang turun-temurun kita ceritakan ke anak cucu kita?

Baca juga :  Pendidikan MA NU 01 Banyuputih: Menjembatani Tradisi dan Modernitas melalui Madrasah

Dari kisah tersebut nabi Ibrahim bermimpi selama tiga hari berturut-turut dimana dalam mimpi beliau diperintahkan oleh Allah SWT. untuk menyembelih anaknya yaitu nabi Ismail. Walau pun beliau seorang nabi dan hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT. Akan tetapi beliau tidak langsung menyembelih nabi Ismail saat itu. Beliau menceritakan isi dari mimpi tersebut terlebih dahulu kepada nabi Ismail. Kemudian mereka berdiskusi terkait mimpi yang dialami oleh nabi Ibrahim tersebut. Sebagai ayah yang bijaksana sebelum melakuakan tindakan yang berkaitan dengan anaknya nabi Ibrahim pun meminta pendapat dari anaknya, begitu pula nabi Ismail sebagai anak juga tidak menolak apa yang akan dilakukan ayahnya selama dalam perintah Allah SWT.

Dalam kisah tersebut banyak hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu tata cara menjalin kehidupan keluarga yang selalu harmonis antara orang tua dengan seorang anak.

Sekarang kita kembali dalam kehidupan nyata, sudahkah kita bersikap seperti nabi Ibrahim sebagai seorang ayah yang bijaksana? Sudahkah kita bersikap seperti nabi Ismail sebagai seorang anak? Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang harus dijawab dalam bentuk lisan maupun tulisan, melainkan harus kita pahami, cermati, jadikan sebagai bahan muhasabah dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Hakikat manusia adalah terlahir dalam keadaan suci dan bisa diibaratkan dengan sebuah kertas putih yang bersih tanpa ada coretan sedikit pun. Kemudian akan dipenuhi coretan-coretan berdasarkan proses yang akan dialami seorang anak di keluarga maupun lingkungan sekitar. Baik coretan yang baik mapun coretan yang buruk.

Sebagai orang tua tentunya kita tidak mau anak kita mendapatkan coretan-coretan yang bersifat buruk atau kurang baik, sebaliknya kita pasti selalu berharap anak-anak kita mendapatkan coretan-coretan yang bersifat baik. Maka dari itu kita sebagai orang tua hendaknya bisa menjaga dan mendidik anak-anak kita supaya meraka selalu mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya, sehingga kelak juga akan menjadi anak yang sholeh dan sholehah.

Share this.
Scroll to Top
Scroll to Top